KEMATANGAN EMOSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA



KEMATANGAN EMOSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
 Oleh : Rr. Dini Diah Nurhadianti, S.Psi, M.Si
2011

Kemajuan jaman yang sangat cepat seperti saat ini merupakan masa terbaik dan sekaligus terburuk bagi individu masa kini, khususnya remaja. Dunia saat ini memiliki kekuatan dan perspektif yang tidak pernah terimpikan beberapa puluh tahun lalu. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Namun berkembangnya pengetahuan dan teknologi yang sedemikian banyak dan cepat membawa dampak tersendiri bagi perkembangan individu, bahkan dapat membuat kekacauan dan berbahaya.
Menurut Sarlito (2005) masyarakat sebagai lingkungan tersier (ketiga) adalah lingkungan yang terluas bagi individu dan sekaligus memberikan berbagai pilihan hidup. Dengan maju pesatnya teknologi komunikasi massa, hampir-hampir tidak ada batas-batas geografis, etnis, politis maupun sosial antar satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Semua hal yang menyangkut gaya hidup, nilai-nilai dan perilaku disebarluaskan melalui media massa. Berita-berita seperti tindak kekerasan, perkelahian, sampai pada pembunuhan sadis yang ditayangkan di media cetak atau elektronik, akan menetap di dalam benak kaum muda. Pesan-pesannya sangat kuat dan kontradiktif. Pada gilirannya individu akan dihadapkan kepada berbagai pilihan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan batin di dalam diri individu itu sendiri. Pertentangan batin itu bisa berupa konflik, sehingga apabila tidak diberikan pengarahan dan bimbingan yang tepat oleh orang tua, maka dapat mempengaruhi perkembangan emosi individu.
Beberapa tahun terakhir ini, berita-berita yang sampai pada masyarakat setiap hari penuh dengan laporan tentang hilangnya sopan santun dan rasa aman, menyiratkan adanya serbuan dorongan sifat jahat. Dalam skala yang lebih besar, berita itu memberi gambaran adanya emosi-emosi yang pelan-pelan tidak terkendalikan dalam kehidupan sendiri dan kehidupan orang-orang di sekitar lingkungan. Dasawarsa terakhir telah mencatat rentetan laporan semacam itu, mencerminkan meningkatnya ketidakseimbangan emosi, keputusasaan dan rapuhnya moral dalam keluarga, masyarakat dan kehidupan bersama (Goleman, 2004). Sementara, Santrock (2003) mengatakan bahwa kebanyakan anak dan remaja pada suatu waktu akan melakukan hal-hal yang merusak atau mengakibatkan munculnya kesulitan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Bila tingkah laku demikian membuat individu melakukan banyak tindakan ilegal maka masyarakat menganggap individu tersebut sebagai pelaku kenakalan (delinquent).
Pada masa remaja, individu menghadapi tuntutan dan harapan, demikian juga bahaya dan godaan, yang tampaknya lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan individu pada generasi yang lalu. Kebanyakan individu merasa bahwa transisi dari masa anak ke masa dewasa sebagai masa perkembangan fisik, kognitif dan sosial yang memberikan tantangan, kesempatan dan pertumbuhan. Meskipun kebanyakan individu pada masa remaja mengalami transisi dari masa anak ke masa dewasa dengan lebih positif, namun banyak juga individu yang tidak cukup memperoleh kesempatan dan dukungan untuk menjadi dewasa yang kompeten. Dalam banyak hal, individu dihadapkan pada lingkungan yang tidak stabil, perceraian orang tua serta bertambahnya mobilitas tempat tinggal keluarga menyebabkan kurangnya stabilitas dalam kehidupan individu. Individu pada kelompok ini lebih mudah terlibat pada kegiatan-kegiatan yang negatif, seperti penyalahgunaan obat dan alkohol atau kenakalan. Banyak pula di antara individu pada kelompok ini yang mengalami ketidakstabilan emosi (Santrock, 2003).
Dalam menghadapi kemajuan jaman yang semakin pesat seperti sekarang ini, maka individu perlu dipersiapkan menjadi pribadi yang matang baik jasmani maupun rohaninya. Di dalam proses mencapai kematangan tersebut individu memerlukan bimbingan dari orang tua dan orang dewasa di lingkungan sekitar. Hal tersebut karena individu belum cukup memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah hidupnya. Mencapai suatu kematangan merupakan tugas perkembangan individu di masa remaja, salah satunya adalah mencapai kematangan emosional.  Menurut Turner dan Helms (1995) kematangan mengarah pada tahapan untuk meningkatkan fisik dan psikis menjadi lebih baik. Individu yang matang memiliki perkembangan sistem nilai yang baik, konsep diri yang tepat dan memiliki perilaku emosional yang stabil.
Syamsu Yusuf (2004) juga menjelaskan bahwa proses perkembangan individu tidak selalu berjalan lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Salah satu faktor penghambatnya adalah yang bersifat eksternal yaitu berasal dari lingkungan. Iklim lingkungan yang tidak mendukung, seperti krisis ekonomi, perceraian orang tua, sikap dan perlakuan orang tua yang otoriter atau kurang memberikan kasih sayang, cenderung memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan individu. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan individu mengalami kehidupan yang tidak nyaman, stres atau depresi.
Selanjutnya Yaumil C.A. Achir (1996) menjelaskan bahwa pola asuh yang diterapkan dalam keluarga sejahtera mengacu pada cara-cara yang diterapkan orang tua sehari-hari dalam berhubungan timbal-balik dengan individu, dalam membentuk dan membina sikap sesuai yang diharapkan orang tua dan masyarakat. Sementara, Diana Baumrind (dalam Santrock, 2003) meyakini bahwa orang tua seharusnya tidak bersifat menghukum maupun menjauhi individu, tetapi sebaiknya membuat peraturan dan menyayangi. Penelitian yang dilakukan Baumrind bertujuan untuk mengetahui gaya pengasuhan orang tua (parenting style) dan kontribusinya terhadap kompetensi sosial, emosional dan intelektual individu. Baumrind (dalam Syamsu Yusuf, 2004) mengemukakan tentang dampak ’’parenting style’’ terhadap perilaku individu, yaitu : (1) individu dengan orang tua authoritarian, cenderung bersikap bermusuhan dan memberontak,  (2) individu dengan orang tua permisif, cenderung berperilaku bebas (tidak terkontrol), (3) individu dengan orang tua authoritative, cenderung terhindar dari kegelisahan atau kekacauan.
Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa remaja. Masa remaja ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu. Menurut Erikson (dalam Cobb, 1992) masa remaja merupakan saat berkembangnya identity (jati diri). Perkembangan identity merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa. Erikson juga meyakini bahwa perkembangan identity pada masa remaja berkaitan erat dengan komitmennya terhadap masa depan, peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi. 
Syamsu Yusuf (2004) mengungkapkan apabila individu dapat memperoleh pemahaman yang baik tentang aspek-aspek pokok identitasnya, seperti kondisi fisik, kemampuan intelektual, emosi, sikap dan nilai-nilai, maka individu akan siap berfungsi dalam pergaulannya yang sehat dengan teman sebaya, keluarga atau masyarakat tanpa dibebani oleh perasaan cemas atau frustrasi. Namun, apabila individu gagal dalam mengembangkan identitasnya, maka individu akan kehilangan arah, bagaikan kapal yang kehilangan kompas. Dampaknya, individu mungkin akan mengembangkan perilaku yang menyimpang (deliquent), melakukan tindak kriminal atau menutup diri dari masyarakat.
Pengaruh lingkungan pada tahap yang pertama diawali dengan pergaulan teman sebaya. Sebagian besar waktu individu dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman sebaya. Menurut Santrock (1998) peranan kelompok teman sebaya bagi individu adalah memberikan kesempatan utuk belajar tentang: (1) bagaimana berinteraksi dengan orang lain, (2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan minat yang relevan dengan usiannya, (4) saling bertukar perasaan dan masalah. Walaupun kelompok teman sebaya mempunyai kontribusi yang positif terhadap perkembangan individu, namun di sisi lain, tidak sedikit individu yang berperilaku menyimpang akibat dari pengaruh teman sebaya (Santrock, 1998).
Sementara itu, Sarlito W. Sarwono (2005) mengatakan bahwa kuatnya pengaruh teman sebaya sering dianggap sebagai biang keladi dari tingkah laku individu yang buruk. Akan tetapi, pada hakikatnya faktor terakhir yang menentukan bagaimana tindakan individu adalah individu itu sendiri.

A.    Kematangan Emosi
Hurlock (1994) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila tidak lagi ‘’meledakkan’’ emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih baik pula. Petunjuk kematangan emosi lainnya adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau individu yang tidak matang. Dengan demikian, individu mengabaikan banyak rangsangan yang tadinya dapat meledakkan emosi dan akhirnya, individu yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi ke emosi yang lain.
Singgih Gunarsa dan Yulia Gunarsa (2003) mengatakan bila individu sudah menemukan identitas dirinya dan telah memperoleh sistem nilai yang mendasari perilakunya dengan penuh tanggung jawab, dapat dikatakan bahwa individu tidak akan bereaksi secara kekanak-kanakan. Demikian pula individu yang tidak dikuasai emosi dan keinginannya sendiri serta mampu tenggang rasa terhadap orang lain akan disenangi dalam lingkungan sosialnya.
M. Tairas (1990) dalam tulisannya yang berjudul “when a person mature?” mengatakan bahwa individu yang matang emosinya mampu mengendalikan rangsangan-rangsangan yang muncul dengan sendirinya. Ketika reaksi emosi muncul, maka individu berusaha menahan dan menunda reaksi emosi tersebut sampai menemukan saat yang tepat. Sementara, Endah Puspita Sari dan Sartini Nuryoto (2002) mengemukakan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang ada dalam diri secara yakin dan berani.
Terlepas dari banyaknya definisi mengenai emosi, yang jelas masa remaja adalah masa yang penuh emosi. Salah satu ciri periode ’’topan dan badai’’ dalam perkembangan jiwa manusia adalah adanya emosi yang meledak-ledak dan sulit untuk dikendalikan (Sarlito, 2005). Untuk mencapai kematangan emosi, individu harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.
Murray (dalam http://www.betteryou.com, 2003) mengemukakan karakteristik kematangan emosi pada individu yaitu memiliki kemampuan untuk memberi dan menerima cinta, memiliki kemampuan untuk menghadapi kenyataan, mementingkan memberi daripada menerima, memiliki penilaian yang objektif, memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman, memiliki kemampuan untuk menerima frustrasi, memiliki kemampuan untuk menangani bentuk-bentuk permusuhan dan relatif bebas dari gejala ketegangan. 
Sementara, Abubakar Baradja (2005) menjelaskan bahwa terjadinya kematangan emosi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi individu tersebut, antara lain :
  1. Faktor Fisiologis, yaitu pada perkembangan kelenjar endokrin yang akan mematangkan perilaku emosi individu. Pada masa bayi produksi kelenjar endokrin sangat kurang dan akan berkembang sesuai dengan bertambahnya usia. Begitu juga dengan kelenjar adrenalin yang memainkan peranan penting pada emosi. Pada awalnya kelenjar adrenalin mengecil, kemudian membesar dan sampai pada taraf kestabilan di usia 16 tahun. 
  2. Faktor Psikologis, yaitu perkembangan pengertian individu akan lebih menjelaskan proses munculnya emosi itu sendiri. Dengan individu mampu memperhatikan, mengerti satu rangsangan dalam waktu yang lebih lama, kemudian memutuskan untuk bereaksi terhadap rangsangan tersebut, dengan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Rangsangan yang menyenangkan akan diterima dengan reaksi gembira dan tertawa, sedangkan rangsangan yang tidak menyenangkan akan diterima individu dengan reaksi yang takut dan malu. Bertambah matangnya usia dan perkembangan, membuat individu lebih reaktif terhadap rangsangan yang ada.

B.     Pola Asuh
Orang tua menginginkan anaknya tumbuh menjadi dewasa secara sosial. Harapan orang tua memudar ketika anak berubah secara drastis selama masa pubertas dan orang tua sering merasa putus asa dalam menjalankan perannya. Banyak orang tua yang melihat anak berubah dari patuh menjadi tidak patuh, melawan dan menentang standar-standar orang tua. Orang tua sering kali memaksa dan menekan anak untuk mengikuti standar orang tua, namun anak tidak mengikuti standar orang tua dengan segera. Orang tua yang menyadari bahwa anak membutuhkan waktu panjang untuk memperbaiki diri biasanya lebih bijak dan tenang menghadapi pelanggaran yang dilakukan, dibandingkan dengan orang tua yang menginginkan penyesuaian segera terhadap standar orang tua.
Pola asuh yang diterapkan dalam keluarga sejahtera mengacu pada cara-cara yang diterapkan orang tua sehari-hari dalam berhubungan timbal-balik dengan anak dalam membentuk, membina sikap serta perilaku sesuai dengan yang diharapkan orang tua dan lingkungan masyarakat. Tujuannya agar anak menjadi dewasa pada waktunya. Hal yang ingin dicapai orang tua dalam pengasuhannya adalah agar segala kebutuhan anak untuk berkembang dapat dipenuhi, baik kebutuhan fisik maupun psikis (Yaumil C.A. Achir, 1996).
Beberapa tahun terakhir ini banyak yang menyarankan orang tua untuk memilih model pengasuhan yang berisi mencontohkan, mengarahkan, menganjurkan, menasehati, mendukung, memberdayakan dan cara-cara lain yang dianggap oleh para pendidik sebagai pola asuh yang berbobot edukatif karena mengandung nilai sosial, moral dan agama. Agar pola asuh dalam keluarga mencapai tujuan dan sasarannya, orang tua juga perlu memperhatikan pola asuh yang diterapkan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat.
Terdapat beberapa macam cara dalam menggambarkan pola perilaku orang tua terhadap individu. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2003) ada tiga cara menjadi orang tua yang berhubungan dengan aspek yang berbeda dalam perilaku sosial individu: autoritatif, autoritarian dan permisif. Kemudian para ahli perkembangan menambahkan bahwa pengasuhan permisif terdiri dari bersifat permisif-memanjakan dan bersifat permisif-tidak peduli.
Maccoby dan Martin (dalam Steinberg, 2002) menyebutkan pola asuh sebagai parenting style (gaya pengasuhan), melihat ada dua dimensi dari perilaku orang tua terhadap anak yang merupakan hal yang kritis :
  1. Seberapa besar harapan orang tua dan tuntutan kematangan serta perilaku bertanggung jawab anak (parental demandingness).
  2. Bagaimana orang tua menanggapi kebutuhan dan menerima serta memberi berbagai bantuan pada anak (parental responsiveness).
Orang tua seringkali berubah dalam menerapkan setiap dimensi perilaku ini. Beberapa saat terlihat hangat dan bersikap menerima, pada kesempatan lain tidak menanggapi dan menolak anak. Terkadang bersikap sangat menuntut dan menaruh harapan besar pada anak tetapi pada kesempatan lain membiarkan dan tidak terlalu menuntut. Oleh karena parental responsiveness dan demandingness hampir tidak bergantung satu sama lain, maka ada kemungkinan orang tua selalu menuntut tanpa memberikan tanggapan dan begitu juga sebaliknya. Kemungkinan paling baik adalah melihat gabungan dari dua dimensi tersebut.






Gambar 1. Skema Klasifikasi Gaya Pengasuhan Maccoby dan Martin (dalam Steinberg, 2002:134)

Orang tua yang sangat tanggap terhadap kebutuhan anak tetapi tidak pernah menuntut disebut sebagai orang tua yang indulgent, sedangkan orang tua yang tanggap terhadap kebutuhan anak tetapi juga sangat menuntut disebut orang tua yang authoritative. Orang tua yang sangat menuntut tetapi tidak pernah menanggapi kebutuhan anak disebut orang tua yang authoritarian, sementara orang tua yang sama sekali tidak menanggapi kebutuhan anak dan juga tidak pernah menuntut disebut orang tua yang indifferent.
Orang tua authoritative hangat tetapi keras. Orang tua membuat aturan dalam bersikap dan sebagai bentuk pengharapan, memperhatikan kebutuhan bagi perkembangan dan kepandaian anak, menerapkan nilai yang tinggi dalam perkembangan otonomi anak dan dalam mengurus diri sendiri tetapi  bertanggung jawab pada perilaku anak. Orang tua authoritative bekerja sama dengan anak dalam berpikir sehat, membicarakan bermacam pokok perdebatan, sering kali mengakhiri diskusi dengan menarik dan memberikan penjelasan mengenai beragam disiplin.
Orang tua authoritarian menempatkan nilai yang tinggi dalam kepatuhan. Cenderung lebih suka menghukum, kaku dan bertindak menurut tata tertib. Orang tua authoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap anak dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Orang tua authoritarian cenderung tidak memberikan dukungan kepada anak untuk berperilaku mandiri dan sebagai gantinya membatasi otonomi anak.
Orang tua indulgent bersikap menerima, murah hati dan di sisi lain lebih pasif dalam menerapkan bermacam disiplin, menempatkan sedikit tuntutan pada perilaku anak, memberikan kebebasan yang tinggi untuk berbuat sesuai dengan keinginan masing-masing. Orang tua indulgent lebih percaya bahwa pengawasaan merupakan pelanggaran dalam kebebasan anak yang mungkin bertentangan bagi perkembangan anak secara sehat. Sebagai gantinya, dari perilaku anak orang tua indulgent lebih memandang dirinya sendiri sebagai sumber yang mungkin dapat diikuti atau tidak oleh anak.
Orang tua indifferent mencoba melakukan apapun untuk memperkecil waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan dalam berhubungan dengan anak. Dalam kasus yang luar biasa, orang tua indifferent bersikap menolak, mengetahui sedikit tentang kegiatan dan di mana keberadaan anak, sedikit memperdulikan pengalaman anak di sekolah atau dengan teman-temannya, jarang berbicara dan jarang menganggap pendapat anak ketika membuat keputusan. Orang tua indifferent adalah orang tua yang berpusat pada dirinya sendiri, dalam mengatur rumah pun sesuai dengan keinginan dan minatnya sendiri.
Anak yang berasal dari keluarga authoritative lebih bertanggung jawab, lebih yakin pada diri sendiri, mudah menyesuaikan diri, lebih kreatif, lebih ingin tahu dan lebih sukses di sekolah. Anak yang berasal dari keluarga authoritarian, kebalikannya yaitu kurang mandiri, lebih pasif, kurang mampu bersosialisasi dan kurang yakin pada diri sendiri. Banyak anak yang berasal dari keluarga indulgent sering kali kurang matang, tidak dapat di percaya, dapat menyesuaikan diri dengan teman sebaya tetapi kurang bisa memimpin. Sementara anak yang berasal dari keluarga indifferent lebih impulsive, lebih mungkin terlibat dalam perilaku yang salah dan terlampau cepat matang dalam melakukan percobaan dengan seks, obat-obatan dan alkohol (Fuligni dkk dalam Steinberg, 2002).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa parenting style di atas memberikan manfaat dalam menyelidiki hubungan antara perilaku orang tua dengan perkembangan anak.

C.    Identitas Diri
Banyak orang beranggapan bahwa pusat dari perubahan individu adalah proses perkembangan identitas dirinya. Erikson (dalam Shaffer, 1985) mengemukakan bahwa pada tahap identitas versus kebimbangan identitas (identity versus identity confusion) merupakan persimpangan antara masa anak-anak dan dewasa. Individu sering dihadapkan pada pertanyaan ’’siapakah saya ?’’. Individu juga harus membangun kehidupan sosial dan mendapatkan kesempatan untuk menemukan identitas dirinya atau individu akan kebingungan karena berhadapan dengan peran sebagai orang dewasa.
Erikson juga mengungkapkan bahwa individu yang sedang mencari identitas akan berusaha menjadi ’’aku’’ yang bersifat sentral, mandiri, unik dan mempunyai suatu kesadaran akan kesatuan batinnya, sekaligus juga berarti menjadi ’’seseorang’’ yang diterima dan diakui oleh banyak orang. Individu yang sedang dalam pencarian identitas adalah individu yang ingin menentukan ’’siapa ’’ atau ’’apakah’’ yang diinginkannya pada masa mendatang. Bila individu telah memperoleh identitas, maka individu akan menyadari ciri khas kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaan, aspirasi, tujuan masa depan serta perasaan bahwa individu dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya. Pembentukan identitas sendiri merupakan pandangan dari suatu proses integrasi perubahan pribadi, tuntutan sosial dan harapan akan masa depan.
Selama masa ini, individu mulai memiliki suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, suatu perasaan bahwa dirinya adalah manusia yang unik. Individu mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang ingin dicapainya di masa mendatang, serta kekuatan dan hasrat untuk mengontrol kehidupannya sendiri. Dihadapannya terbentang banyak peran baru dan status orang dewasa.
Akan tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak, dan kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di pihak lain, maka selama tahap pembentukan identitas ini individu mungkin akan merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas (identity confusion). Kondisi demikian menyebabkan individu merasa terisolir, hampa, cemas dan bimbang. Individu menjadi sangat peka terhadap cara orang lain memandang dirinya, dan menjadi mudah tersinggung dan merasa malu. Selama masa kekacauan identitas ini tingkah laku individu menjadi tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan. Pada suatu saat mungkin individu lebih tertutup terhadap siapa pun, karena takut ditolak atau dikecewakan. Berdasarkan kondisi demikian, maka menurut Erikson (dalam Desmita, 2005) salah satu tugas perkembangan selama masa remaja adalah menyelesaikan krisis identitas, sehingga diharapkan terbentuk suatu identitas diri yang stabil di akhir masa remaja. Individu yang berhasil mencapai identitas diri yang stabil, akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami perbedaan dan persamaannya dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu mengantisipasi tantangan masa depan serta mengenal peran.
Syamsu Yusuf (2004) mengatakan bahwa individu dapat dipandang telah memilik identitas yang matang (sehat), apabila individu tersebut sudah memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, peran-perannya dalam kehidupan sosial, dunia kerja dan nilai-nilai agama.
Penelitian yang dilakukan Stuart Hauser dkk (dalam Santrock, 2003) memberikan tekanan pada proses keluarga yang mendorong proses perkembangan identitas individu. Para ahli menemukan bahwa orang tua yang berlaku dengan cara menerangkan, menerima dan berempati terhadap anak, lebih bisa mendorong proses perkembangan identitas diri anak dibandingkan dengan orang tua yang berlaku seperti menghakimi dan tidak menghargai. Sebagai kesimpulan, gaya interaksi keluarga memberikan hak pada anak untuk bertanya dalam suatu konteks dukungan dan mutualitas, mendorong pola perkembangan identitas yang sehat.

D.    Teman Sebaya
Dalam kehidupan nyata, individu hidup dalam dua dunia, yaitu dunia orang tua serta orang dewasa dan dunia teman sebaya. Kedua dunia ini bisa berjalan beriringan dengan sedikit tumpang tindih. Yang merupakan teman sebaya (peers) adalah individu dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang relatif sama. Berbeda halnya dengan masa anak-anak, hubungan teman sebaya pada masa remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan. Pembentukan persahabatan individu erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri.
Sprinthall dan Collins (1995) mengatakan bahwa individu menghabiskan waktunya dengan teman sebaya dalam satu atau banyak kelompok termasuk keluarganya. Mussen dkk (1984) mengatakan kelompok teman sebaya mengajarkan individu keterampilan sosial yang tidak dapat dipelajari dari orang dewasa dengan cara yang sama, seperti: bagaimana cara berinteraksi dengan teman sebaya, bagaimana berhubungan dengan pemimpin dan bagaimana menghadapi permusuhan dan dominasi.
Dalam kenyataannya, teman sebaya merupakan sekelompok individu yang cenderung mempunyai usia, jenis kelamin, minat dan pendapat yang relatif sama. Teman sebaya melatih individu berinteraksi dengan orang lain dan mengajarkan bagaimana cara menghadapi permusuhan. Teman sebaya juga merupakan sumber dukungan dan rasa aman, sebagai orang kepercayaan, model perilaku dan sebagai evaluator tindakan individu sesuai dengan standar yang berbeda dengan orang dewasa
Secara lebih rinci Kelly dan Hansen (dalam Desmita, 2005) menyebutkan enam fungsi dari teman sebaya, yaitu :
1)          Mengontrol impuls-impuls agresif. Melalui teman sebaya, individu belajar bagaimana memecahkan pertentangan-pertentangan dengan cara yang lain selain dengan tindakan agresi langsung.
2)          Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen. Teman-teman dan kelompok teman sebaya memberikan dorongan bagi individu untuk mengambil peran dan tanggung jawab baru individu. Dorongan yang diperoleh dari teman sebaya akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan individu pada dorongan keluarga.
3)          Meningkatnya keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan penalaran dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang.
4)          Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin. Sikap-sikap seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama dibentuk melalui interaksi dengan teman sebaya. Individu belajar mengenai tingkah laku dan sikap-sikap yang ditampilkan dengan menjadi laki-laki dan perempuan muda.
5)          Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Umumnya orang dewasa mengajarkan pada individu tentang apa yang benar dan apa yang salah. Dalam kelompok teman sebaya, individu mencoba mengambil keputusan atas diri sendiri. Individu mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan yang dimiliki teman sebayanya, serta memutuskan mana yang benar. Proses mengevaluasi ini dapat membantu individu dalam mengembangkan kemampuan penalaran moral.
6)          Meningkatnya harga diri (self-esteem). Menjadi orang yang disukai oleh sejumlah besar teman-teman sebaya membuat individu merasa senang dan bangga pada dirinya.    
Pada prinsipnya hubungan teman sebaya mempunyai arti yang penting bagi kehidupan individu dan dapat berakibat positif maupun negatif dalam perkembangan kepribadiannya. Melalui hubungan teman sebaya individu belajar tentang hubungan timbal balik yang simetris. Hubungan yang positif dengan teman sebaya dapat dilihat dengan penyesuaian sosial yang baik. Individu juga dapat mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui peristiwa pertentangan dengan teman sebaya. Bahkan hubungan teman sebaya yang harmonis selama masa remaja, berpengaruh pada kesehatan mental yang positif pada usia setengah baya. Namun, budaya teman sebaya juga dapat merusak nilai-nilai dan kontrol orang tua. Lebih dari itu, teman sebaya dapat memperkenalkan individu pada alkohol, obat-obatan (narkoba), kenakalan dan berbagai bentuk perilaku yang dipandang orang dewasa sebagai perilaku maladaptif  (Santrock, 1998).
Menurut Hurlock (1994), karena individu lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar individu mengetahui bahwa bila memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang popular, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau rokok, maka individu cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan akibatnya (Littrell dkk dalam Hurlock, 1994).
Meskipun selama masa remaja kelompok teman sebaya memberikan pengaruh yang besar, namun orang tua tetap memainkan peranan penting dalam kehidupan individu. Hubungan dengan orang tua dan hubungan dengan teman sebaya memberikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dalam perkembangan individu. Orang tua diharapkan menjadi sumber penting yang mengarahkan dan menyetujui dalam pembentukan tata nilai dan tujuan-tujuan masa depan (Savin-William dalam Desmita, 2005). Senada dengan Santrock (2003) yang meyakini bahwa ikatan yang aman antara individu dengan orang tua berhubungan dengan hubungan teman sebaya yang  positif.

E.     Remaja
Hurlock (1994) istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin ”adolescere” yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Hurlock menyebutkan masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 13–16/17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari 16/17–18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Sementara Konopka (dalam Desmita, 2005) menjelaskan masa remaja meliputi: 1) remaja awal: 12-15 tahun, 2) remaja madya: 15-18 tahun, dan 3) remaja akhir: 19-22 tahun.
Luella Cole (dalam Syamsu Yusuf, 2004) mengklasifikasikan tugas perkembangan remaja ke dalam sembilan kategori, yaitu:  1) kematangan emosional, 2) pemantapan minat-minat hetero-seksual, 3) kematangan sosial, 4) emansipasi dari kontrol keluarga, 5) kematangan intelektual, 6) memilih pekerjaan, 7) menggunakan waktu senggang dengan tepat, 8) memiliki filsafat hidup dan 9) identifikasi diri.
Pada akhirnya, kemampuan individu untuk menemukan cara-cara dalam memperoleh kebutuhan-kebutuhannya, dan menuntaskan tugas-tugas perkembangannya merupakan syarat kunci bagi perkembangan individu selanjutnya.

F.     Keterikatan Pola Asuh, Identitas Diri dan Pengaruh Teman Sebaya dengan Kematangan Emosi
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak dengan orang tua yang menggunakan gaya pengasuhan responsif akan memiliki rasa cinta kasih, memiliki sikap hormat atau menghargai orang lain, simpati dan mampu menghadapi situasi frustrasi secara wajar.    
Selanjutnya Erikson (dalam Desmita, 2005) menyimpulkan bahwa individu yang telah memperoleh pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami persamaan dan perbedaan dirinya dengan orang lain, menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya serta mengetahui perannya dalam masyarakat, akan membuat dirinya menjadi individu yang percaya diri dan pada akhirnya dapat memainkan perannya sesuai harapan orang tua dan masyarakat.
Senada dengan Santrock (2003) yang mengatakan bahwa hubungan dengan teman sebaya yang suasananya hangat, menarik dan tidak memaksakan kehendak dapat membantu individu memperoleh pemahaman tentang konsep diri, perasaan berharga dan optimis terhadap masa depan. Kondisi demikian juga dapat membantu individu dalam mengungkapkan emosinya dengan tepat. Individu dapat belajar mengendalikan emosinya dengan bantuan teman sebaya dan mencoba menyelesaikan setiap masalah dengan cara halus tanpa adanya kekerasan.
Sehingga dapat disimpulkan, bila seorang individu mendapatkan pola pengasuhan yang mengarah pada pengasuhan responsif, kemudian memiliki pemahaman yang baik mengenai dirinya, ditambah memiliki pengetahuan yang luas tentang pergaulan dan memilih teman-teman yang dapat memberikan nilai-nilai positif bagi dirinya, maka dipastikan bahwa individu memiliki penyesuaian emosional yang baik dan dapat dikatakan telah mencapai kematangan emosi.